Menu Spesial

Menu Sponsor

[ ]

Menu Terbaru

Senin, 19 Desember 2011

Yuk, Bisnis Baju Handuk

0 komentar
Salam Entrepreneur
 
Desainnya yang unik kini mulai digemari ibu-ibu dan anak-anak...
Bisnis baju handuk? Kenapa tidak. Desainnya yang unik untuk anak-anak kini mulai digandrungi ibu-ibu dan anak-anak.
Bisnis ini bisa dimulai dengan modal kecil sebagai di alternatif di tengah krisis. Tengok saja pengalaman Miswati Dusti yang menggeluti bisnis ini sejak awal 2008 lalu.
Mulanya, baju handuk merupakan jawaban Iwa, panggilan akrab Miswati Dusti, untuk tingkah laku anaknya yang enggan mengeringkan badan dengan handuk usai mandi.


"Inspirasinya dari pakaian ala Meksiko, selembar kain yang tengahnya dilubangi untuk kepala," kata dia kepada Vivanews di sela bazaar Batik Goes to Campus di kampus Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Sabtu 7 Maret 2009.


Baju handuk merupakan handuk yang berbentuk baju. Bagian kepalanya ada yang memiliki penutup kepala atau pun tidak. Baju handuk buatan Iwa dihiasi dengan berbagai desain menarik, seperti gambar hewan atau tokoh kartun yang sedang digemari anak-anak. Untuk sentuhan akhir, baju handuk juga bisa dilengkapi dengan bordir nama pada bagian dada. "Supaya baju handuk terasa lebih personal," jelas dia.


Iwa mengungkapkan, awal membuat baju handuk memang hanya untuk konsumsi sendiri. Namun ternyata kerabatnya banyak yang suka dan memesan kepadanya. Akhirnya, Iwa yang memiliki toko kecil di Galery UKM Cilandak Town Square memasukkan ide baju handuk ke tokonya. Selain baju handuk, Iwa juga sempat menjual mukena dan pakaian bordir. Semua barang jualannya merupakan produk buatannya sendiri. "Sekarang saya fokus ke baju handuk dulu," tutur dia.


Iwa awalnya tidak bermimpi untuk berbisnis. Ibu beranak empat ini hanya ibu rumah tangga biasa yang seluruh pengeluaran rumah tangga dipenuhi dari penghasilan tunggal suaminya. Kejadian berbalik pada akhir 2005, saat suami Iwa diberhentikan kontrak kerjanyanya. Kondisi keuangan semakin morat-marit ketika suaminya tertipu hingga Rp 700 juta saat berniat berbisnis kayu dengan rekannya. Akibatnya, keluarga Iwa harus hidup seadanya. "Bahkan, kami sempat makan hanya dengan nasi dan kerupuk putih saat itu," kenang Iwa.


Suatu hari saat ia dan suaminya berkunjung ke Citos untuk mencari anjungan tunai mandiri, Iwa melihat galery UKM di salah satu pojok perbelanjaan tersebut dan terlintas dibenaknya untuk memulai usaha dari sana. Ia pun mulai berbisnis kecil-kecilan. Modal awal yang dikeluarkannya saat itu mencapai Rp 4 juta. "Sewa tempat Rp 2,5 juta dan barang jualan sekitar Rp 1,5 juta," tutur dia.


Iwa menjelaskan, tujuan awalnya saat memulai usaha hanya untuk kebutuhan rumah tangganya sehari-hari, seperti makan dan uang sekolah anak, sehingga, kala itu Iwa sudah senang jika bisa untung Rp 15-20 ribu per hari.


Namun, produknya ternyata digemari. Baju handuk yang menjadi primadona omzetnya bisa mencapai Rp 15 juta per bulan. Dari omzet tersebut, Iwa meraup keuntungan bersih sebesar 30-40 persen, atau sekitar Rp 6 juta. Sisanya, untuk membayar tiga pekerjanya dan modal untuk membuat baju handuk.


Baju handuk produksi Iwa dijual pada kisaran Rp 125 ribu untuk anak-anak dan Rp 250 ribu untuk dewasa. Selain Jakarta, baju handuk tersebut juga bisa ditemui di Semarang, Surabaya, Aceh, Makasar, Purworejo, da Purwokerto.


Dalam berbisnis, Iwa percaya bahwa kegagalan merupakan suatu keberhasilan yang tertunda. Barang produksinya dicari orang karena Iwa bisa mempertahankan mutu dan kualitas. Selain itu, Iwa juga terus berinovasi dan meningkatkan kreativitas dengan menciptakan desain yang lebih baru. "Jangan pernah berpikir, kita yang paling bagus. Karena produk ini susah-susah gampang, orang lain bisa menirunya," kata dia sambil berharap, suatu saat bisa mengekspor baju handuknya ke mancanegara seperti Malaysia.

Sumber : VIVAnews

Edy dan Briket Kulit Kacang, Raih Omzet Jutaan Rupiah

0 komentar

Salam Entrepreneur 

Sehari-hari Edy Gunarto bergelut dengan kulit kacang. Kulit kacang itu dia masukkan ke dalam sebuah drum besar lalu dibakarnya selama sekitar dua jam. Agar cepat dingin, arang kulit kacang itu kemudian dijemur. Setelah dihancurkan hingga menyerupai tepung, adonan itu diaduk dengan lem kanji. Proses terakhir adalah mencetaknya menjadi briket siap pakai. Eny PrihtiyaniWarga Dusun Plebengan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, DI Yogyakarta, ini menggeluti usaha itu setidaknya sejak lima tahun terakhir. Briket produksinya itu sudah dipasarkan ke berbagai kota, seperti Surabaya dan Jakarta. Sebagian besar pelanggannya adalah kalangan industri rumah tangga.

Gagasan membuat briket kulit kacang muncul ketika Edy menghadapi banyaknya sampah kulit kacang di daerahnya. Sampah itu dibiarkan berserakan di pinggir jalan atau dibuang begitu saja di kebun-kebun. Di rumahnya sendiri, sampah kulit kacang juga tidak kalah banyaknya. Apalagi istrinya adalah pengepul kacang tanah.
”Bila panen tiba, banyak petani yang menjual kacang kepada istri saya. Setelah dikupas, oleh istri saya lalu dijual kepada pedagang pasar tradisional, terutama di Beringharjo. Jadi, sampah kulit kacang di rumah selalu menumpuk,” katanya.
Sampah kulit kacang itu makin menumpuk ketika Edy berhasil membuat alat pengupas kacang dengan kapasitas 2 kuintal per hari. Alat itu terus dia sempurnakan hingga kapasitasnya mencapai 1,5 ton per hari. Alat itu dibuatnya setelah mengamati alat perontok padi karena prinsip kerjanya hampir sama.
”Dengan bantuan alat pengupas, kacang tanah yang tertampung semakin banyak. Tidak hanya dari petani di Bantul, tetapi juga dari wilayah Gunung Kidul dan Kulon Progo. Itu membuat usaha istri saya berkembang pesat. Dampak lainnya, ya semakin menumpuknya sampah kulit kacang di rumah kami,” ujarnya.
Awalnya Edy hanya menjual sampah kulit kacang itu kepada para perajin tahu seharga Rp 30.000-Rp 35.000 per truk. Oleh perajin, kulit kacang dipakai sebagai bahan bakar mengolah tahu.
Setelah mendapat informasi dari berbagai sumber, seperti buku dan pelatihan tentang pembuatan briket, dia pun tertarik membuat briket kulit kacang. ”Saat itu yang diperkenalkan adalah pembuatan briket dari serbuk gergaji. Namun, karena bahan bakunya di tempat saya sulit dan yang tersedia kulit kacang, ya saya coba saja,” cerita Edy.
Eksperimen
Selama masa eksperimen, Edy masih mencampur kulit kacang dengan serbuk gergaji. Dia khawatir, kalau semua bahan bakunya dari kulit kacang, briketnya tidak bisa sempurna. Lambat laun dia mulai meninggalkan serbuk gergaji dan hanya menggunakan kulit kacang.
Keuletan dan ketelatenan Edy melakukan eksperimen membawanya pada satu kesimpulan, yakni briket bisa dibuat dari semua jenis limbah organik. Selain kulit kacang, briket juga bisa dibuat dari bahan baku seperti cangkang jarak, tempurung kelapa, dan tongkol jagung.
Sekarang, bila stok kulit kacang tengah menipis, Edy beralih pada bahan baku yang lain. ”Karena di daerah sini terkenal sebagai sentra kacang, stok kulit kacang praktis selalu tersedia meskipun pada masa-masa tertentu stok kulit kacang kadang memang agak berkurang. Dalam kondisi seperti ini, biasanya saya beralih ke tongkol jagung,” katanya.
Dalam sehari Edy bisa memproduksi sekitar 70 kilogram briket. Setiap 1 kg briket membutuhkan sekitar 2 kg kulit kacang. Jadi, dalam sehari kebutuhan bahan bakunya mencapai 180 kg kulit kacang.
Selain memanfaatkan sampah kulit kacang milik sendiri, Edy juga membeli dari petani seharga Rp 50 per kg. Briket kemudian dia jual Rp 2.500 per kg. Edy menjualnya dalam bentuk kemasan 2 kg.
”Produksinya memang belum terlalu tinggi, padahal permintaannya cukup banyak. Salah satu kendalanya adalah peralatan yang kami gunakan sebagian besar masih tradisional. Kalau saja ada investor yang tertarik, mungkin usaha ini bisa dikembangkan lebih maksimal mengingat potensi sampah organik di sini sangat besar,” ujar Edy.
Sederhana
Semua peralatan yang dipakai Edy memang tergolong sederhana. Ia memodifikasi semuanya sendiri. Latar belakang pendidikan teknik mesin semasa belajar di STM 2 Jetis Bantul ternyata cukup membantu.
Misalnya, untuk mesin pengaduk molen briket, dia membuat sendiri dengan meniru prinsip kerja mesin buatan pabrik. Untuk membuat alat itu, ia menghabiskan sekitar Rp 2 juta, sementara jika membeli di pabrik bisa sampai Rp 5 juta. Untuk mencetak briket, Edy juga memanfaatkan alat cetakan genteng yang sudah dia modifikasi.
Untuk memanfaatkan briket, konsumen tinggal membeli tungku yang terbuat dari tanah liat seharga sekitar Rp 10.000. ”Sebelumnya memang belum ada perajin gerabah yang membuat tungku untuk briket. Ketika itu yang ada tungku dari besi seharga Rp 150.000. Setelah saya bicarakan dengan para perajin, mereka lalu memproduksi tungku gerabah sehingga konsumen tidak kesulitan mendapatkannya,” kata Edy.
Untuk menyalakan briket di tungku gerabah tidaklah susah. Caranya, briket ditaruh di lubang di atas tungku lalu dinyalakan dari atas. Menyalakannya pun tidak sesulit briket batu bara. Untuk menyalakan api, orang bisa menggunakan bantuan secuil kain atau kertas.
Keuletan Edy dalam mengembangkan usahanya ternyata mendapat respons positif. November tahun lalu dia berhasil menggondol juara pertama tingkat nasional kategori pengembangan entrepreneurship yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia bekerja sama dengan Citi Peka.
Penghargaan itu membuat Edy semakin bersemangat. Atas prestasinya tersebut, dia mendapat hadiah Rp 11 juta. Rencananya uang itu akan dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha.
Dia yakin, usahanya akan semakin berkembang mengingat ketersediaan minyak tanah bersubsidi semakin langka. Di wilayah Kota Yogyakarta dan Sleman, misalnya, minyak tanah bersubsidi sudah ditarik, sedangkan di kawasan Bantul kemungkinan hanya sampai Desember mendatang.
”Tanpa subsidi, harga minyak tanah bisa Rp 8.000 per liter. Jadi mungkin akan semakin banyak masyarakat yang beralih pada bahan bakar alternatif,” kata Edy.
Menurut dia, briket buatannya mirip dengan briket batu bara. Setiap 1 kg briket bisa menghasilkan panas hingga sekitar dua jam.
Menggunakan briket untuk bahan bakar memasak juga terhitung lebih irit dibandingkan dengan memakai minyak tanah. Untuk keperluan memasak nasi, sayur, dan lauk, jika menggunakan kompor minyak tanah bisa menghabiskan sekitar satu liter minyak yang harganya sekitar Rp 8.000 (harga nonsubsidi). Jika memakai briket, hanya mengeluarkan uang Rp 2.500.
Selain lebih irit, briket kulit kacang juga tidak menimbulkan asap dan jelaga sehingga tidak mengotori dinding dan peralatan memasak, kata Edy. (Eny Prihtiyani)

Sumber : kompas.com

Minggu, 18 Desember 2011

Omzet Naik Hingga 50 Juta, Hanya Dengan Jualan Cireng

0 komentar

Salam Entrepreneur


Cireng
Siapa yang tidak kenal Cireng? Makanan khas bandung yang sudah ada sejak dulu. Makanan yang terbuat dari aci goring atau biasa disebut Cireng. Banyak hal yang perlu kita tahu bagaimana Cireng bias menjadi makanan favorit, yang tentunya dengan menjadi makanan favorit orang banyak bias menjadi peluang usaha paling TOP untuk bisnis anda, dan pastinya akan menaikan Omzet anda berkali-kali lipat.

Inovasi
Yupz, betul banget dengan Inovasi, karena tanpa adanya Inovasi bisnis kita gak akan pernah maju, percaya deh ^_^”.
Ada hal menarik yang ingin saya ceritakan disini, pastinya berhubungan dengan Cireng donk!
Seorang Ibu Rumah Tangga sebut saja namanya Ani Rohaeni, wanita berusi 48 tahun ini menggebrak dengan Inovasi yang sama sekali tidk saya pikirkan. Beliau berhasil membuat Cireng menjadi makanan unik yang di gemari di bandung dengan nama The Cireng Rampat (unik kan?), tepatnya di rumahnya sendiri di Jl. Cemara bandung.

Bagaimana Seorang Ibu Rumah Tangga yang sudah bisa dibilang tidak muda lagi, bisa membuat Cireng laris manis bahkan ada yang rela mengantri berjam-jam hanya untuk menikmati Cireng buatannya.

Ini dia rahasianya :
-          Berawal dari hobinya makan cireng Ibu Ani Rohaeni mengubah bentuk, isi, Rasa yang berbeda-beda. Hal ini yang akhirnya Cireng banyak di sukai orang-orang, selain itu harga yang dijualnya pun tidak jauh dari isi kantong para penggemar Cireng, beliau menjual dari harga Rp 1.200,- sampai dengan Rp 2.000,- murah bangetkan, yah beda gopelah dari harga cireng yang biasa,hehe..
-          Yang kedua Ibu Ani member cirri khas yang berbeda untuk cireng buatannya, beliau memberikan rasa yang sedikit pedas dan sangat pedas, yang akhirnya orang yang memakan cireng buatannya merasakan sensasi berbeda dari cireng yang dibuatnya. Beliau juga meramu cireng buatannya lebih garing atau biasa disebut juga lebih Crispy karena cireng yang digorengnya aga sedikit lama dan lebih kering.
-           Yang ketiga Ibu Ani membuat Hak Paten untuk Cireng buatannya, kenapa di Hak Patenkan?padahalkan Cuma makanan kecil biasa?
Itulah pntarnya pebisnis, dia bias membaca situasi yang ada, ibu Ani tau bahwa saat ini di Indonesia bajak-membajak adalah suatu yang lumrah terjadi, maka dari itu untuk menjaga produk buatannya beliau men-HAK-Patenkan Cireng Buatannya
-          Yang Ke empat Ibu Ani membuat sistem penjualan dan pemasaran untuk Cireng buatannya, beliau mengembangkan usahanya melalu system Franchise. Membuka usaha dengan system Franchise itu sangat bagus, selain untuk berpromosi Omzet penjualanpun akan menjadi lebih baik, tidak tanggung-tanggung dengan di bukanya system Franchise Ibu Ani kini sudah mengantongi 50 Juta/bulannya. Woww huebaattttenan…

Kini Ibu Ani sudah mempunya lebih dari 50 otlet Franchise yang tersebar di seluruh kota Indonesia, Jujur saya kagum dengan Inovasi Ibu Ani, dengan Idenya belau dapat meningkatkan Omzetnya hingga 50 juta bukan uang yang sedikit bukan.

1 Pertanyaan saya : Kapan Anda Memulai inovasi Untuk Meningkatkan Omzet Usaha Anda??Fight!!